Oleh: Endi Biaro
(Penulis adalah Komisioner KPU Kabupaten Tangerang)
Sepuluh tahun terakhir, jagat informasi kepemiluan bergulung-gulung dengan informasi sesat. Ruang publik, terkhusus di medsos, berjejal dengan sampah digital. Rupa-rupa jenis distorsi (kerusakan) informasi terjadi. Selain berita sampah, pesan fitnah, provokasi pecah belah, sampai publikasi bedebah, berhamburan setiap detik. Telah terjadi apa yang disebut dengan the market of lemon, alias sesuatu yang busuk justru dominan, laku, digemari, lantas “memenangi” perang informasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Silahkan deteksi: mesin buzzer yang tak henti membombardir Medsos dengan narasi palsu, malah kerap trending. Pelakunya malah tenar, menguasai panggung informasi, serta dipelihara oleh bandar. Laporan riset Bloomberg menyebut, di Indonesia, buzzer tukang penyebar pesan keliru, malah mendapat bayaran rutin. Malah menjadi profesi khusus.
Berikutnya, ada beberapa pola pemutarbalikan fakta via media. Semisal praktek “menghajar” lawan politik dengan serbuan caci maki. Mengintimidasi publik dengan wacana penuh kebohongan, sampai metode adu domba antar warga dunia maya (netizen).
Lantas momentum paling menentukan dari keriuhrendahan kebohongan, justru terjadi saat momen Pemilu.
Fenomena ini berbahaya. Mengapa?
Informasi sesat jelas-jelas memotong habis alur pesan yang berkualitas. Pesan yang benar, argumentatif, dan mendidik, setidaknya memiliki sejumlah syarat.
Misalnya, pesan diolah oleh pihak yang kompeten, punya otoritas, dan teruji atau terpercaya (punya legitimasi). Dalam hal isu Pemilu, misalnya, KPU masuk dalam kategori kompetensi dan legitimasi.
Namun kerap terjadi, segala pernyataan KPU malah dipelintir, dibombardir, diserang habis, lalu seolah penyelenggara Pemilu adalah pihak pendosa.
Kita tentu ingat hoax belasan kontainer surat suara yang sudah dicoblos, kotak suara kardus yang sengaja dibuat curang, puluhan juta pemilih ganda, sampai dengan fitnah cara penghitungan yang penuh rekayasa, begitu massif menyerang publik. Berita-berita tak berdasar ini malah viral. Sementara fakta yang sebenarnya, tenggelam oleh kebohongan.
Ancaman lain dari banjir bandang kebohongan Pemilu di Medsos adalah mengubur potensi pencerdasan publik. Kontestasi politik dalam ajang Pemilu sejatinya membawa pesan-pesan pencerahan dan pendidikan.
Khalayak luas butuh aneka gagasan, wacana, debat berkelas, serta penyebaran nilai-nilai demokrasi. Semua itu bisa berlangsung, andai metode komunikasinya berlangsung secara obyektif, bertumpu pada fakta, dialogis, dan menghargai perbedaan.
Para pihak, sesungguhnya, berikhtiar keras untuk itu. Termssuk KPU, yang bahkan memiliki program khusus untuk sosialisasi dan pendidikan publik.
Sayangnya, narasi sehat tentang Pemilu, kalah dahsyat oleh narasi sesat oleh perusak Pemilu.
Dampak menghancurkan berikutnya dari sampah digital (yang penuh konten dan narasi jahat), adalah menciptakan distrust, saling curiga, prasangka, serta angkara.
Pemilu yang idealnya menjadi sarana integrasi bangsa, momen menjaga konsolidasi demokrasi, plus mengelola konflik politik, justru menjadi momen pertarungan yang beringas (seperti tergambar di Medsos).
Rakyat yang mestinya menikmati momen Pemilu sebagai wujud daulat politik, guna memilih wakil terbaik, malah pekak oleh kompetisi politik yang kotor. Ruang demokrasi politik malah tersisihkan. Kalah kuat oleh narasi penyesatan.
Penulis : redaksi
Editor : dwi teguh