Oleh: Rudy Gani
Relasi antara partai politik dengan ormas keagamaan memang selamanya tidak berjalan mesra. Ibaratnya, parpol dan ormas ibarat dua kakak beradik yang mesra pada suatu waktu, dan cekcok pada waktu lainnya.
Sehingga, pertengkaran pun kerap terjadi dalam satu rumah yang mereka tinggali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu kira-kira gambaran yang bisa kita analogikan ketika membahas relasi antara parpol dan ormas.
Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu belakang ini antara PKB dan PBNU. Keduanya kini saling “ngotot” untuk menarasikan siapa sesungguhnya pemilik PKB, apakah PBNU atau parpol yang diketuai Cak Imin tersebut independen dan lepas dari bayang-bayang PBNU.
Membaca konflik yang terjadi antara Parpol dan Ormas keagamaan memang sangat menarik.
Dinamika nya pun berbeda dibanding partai nasionalis. Sebab, Parpol yang basisnya berangkat dari ormas keagamaan mau tidak mau, tak dapat melepaskan latar historisnya sebagai partai yang dibentuk oleh tokoh-tokoh Ormas tersebut.
Begitupula dengan PAN. Didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan aktivis Islam Moderat, PAN relatif jauh dari konflik sebagaimana yang terjadi saat ini antara PKB dan PBNU.
PAN relatif tidak memiiki gejolak terkait relasi dengan Muhammadiyah yang menjadi pelopor parpol ini. Bahkan, dimata publik, relasi antara PAN dan Muhammadiyah dinilai baik-baik saja.
Banyak agenda-agenda kebangsaan yang saat ini terjadi, hampir tidak ada respon yang berarti dari kedua belah pihak.
PAN tidak pernah mencampuri “dapur Muhammadiyah” dan Muhammadiyah tidak lagi “mengkritik” PAN dalam beberapa isu nasional yang terjadi.
Pertanyaannya, membicarakan PAN dan Muhammadiyah apakah masih relevan? Sebab, wajah PAN saat ini jauh berbeda dengan wajah PAN di masa-masa awal Partai ini berdiri.
Kita tentu ingat bagaimana di masa-masa awal PAN dengan tokoh-tokoh politik khususnya dibidang ekonomi begitu keras mengkritik pemerintah melalui DPR-RI.
Bahkan, salah seorang tokoh Ekonom yang baru saja meninggal kemarin, Faisal Basri, adalah mantan Sekjen DPP PAN. Itu artinya, PAN memiliki tokoh-tokoh politisi berlatar ekonom yang begitu luar biasa mewarnai jalannya pemerintahan saat itu.
Kondsi itu berbeda saat ini. Kekosongan atau keringnya ketokohan politik dipartai sudah seharusnya jadi warning bagi partai berlambang matahari ini?
PAN yang relatif “mesra” dengan Muhammadiyah belum mampu memanfaatkan relasi dengan ormas islam terbesar kedua ini.
Mengapa demikian? sebab, Muhammadiyah sebagai organisasi intelektual mempunyai banyak stok pemikir yang bisa “mengisi” kekosongan intelektual di PAN. Tetapi, PAN rasanya lebih memilih popularitas ketimbang intelektualitas untuk membesarkan partai.
Jawabnya bisa kita lihat pada pileg kemarin. Berdasarkan fakta dilapangan, banyak caleg-caleg intelektual dari Muhammadiyah tumbang akibat “modal” politik dan kapital yang begitu mepet saat Pileg kemarin.
Bahkan, dukungan keluarga besar Muhammdiyah pun dirasa belum maksimal bagi caleg-caleg PAN yang berlatarbelakang aktivis Muhammdiyah.
Sehingga, mereka tidak lolos ke DPR dan caleg yang memiliki modal popularitas yang kuat dan besarlah yang menang. Sedangkan mereka yang memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, harus rela kalah dari “caleg berduit (artis)”.
Inilah kondisi sulit yang dihadapi aktivis Muhammadiyah dalam berkompetisi di gelanggang politik. Ibaratnya, jauh panggang dari api. Keinginan ada, tetapi modal (logistik) tak ada. Bahkan, Muhammadiyah pun malu-malu mendukung anak kandungnya sendiri (aktivis Muhammdiyah).
Mencermati fenomena pileg 2024 lalu, maka perlu sekali dilakukan dialog yang intens antara Muhammadiyah dan PAN.
Sebab, sebagai parpol dan ormas, keduanya saling membutuhkan. Meski Muhammadiyah secara politik tidak memiliki hubungan terikat dengan PAN, namun secara historis, PAN dan Muhammadiyah sangat dekat dibanding ormas lainnya.
Muhammadiyah memiliki banyak SDM yang berkualitas untuk menjadi kader partai. PAN bisa memanfaatkan ini dengan menarik aktivis potensial untuk menjadi kader partai. Nah, pertanyaannya, apakah aktivis bisa mendapat “privilege” selama di PAN?
Atau sebaliknya, dijadikan kader nomor dua selama beraktivitas di PAN? disinilah perlu sekali lagi dialog antara tokoh Muhammdiyah dan pucuk pimpinan di PAN untuk saling memahami. Akankah terjadi? kita lihat saja. (*)
Penulis adalah: Wasekjen MN KAHMI