Ahmad Chumaedy
(Pengajar di FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang)
Helatan pemilihan presiden kali ini selalu ada kejutan yang mencengangkan publik Indonesia. Dimulai dari sikap politik PKB yang sedari awal berkoalisi dengan partai Gerindra tapi di last minute membangun koalisi dengan partai Nasdem, kemunculan Muhaimin sebagai cawapres Anies dengan menanggalkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai ketua umum Partai Solidaritas Indonesia tanpa ada mekanisme lazim yang dilakukan partai politik kebanyakan, putusan Mahkamah Konstitusi tentang usia capres dan cawapres, dan terakhir keputusan Gibran menerima pinangan Prabowo sebagai bakal cawapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM). Praktis hal ini muncul secara dinamis karena dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi yang ada adalah murni kepentingan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam situasi politik yang dinamis dan terbuka seperti sekarang, kadang kala kita menemukan ada pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan politik yang tidak mesti selalu seiring sejalan. Ada momen berbeda dalam persepsi, perspektif, dukungan dan nalar yang dicita-citakan dan berujung pada perselisihan atas pilihan jalan perjuangan yang ditempuh.
Tidak sedikit perbedaan ini menjadi kegaduhan di internal partai dalam penentuan pilihan dukungan yang dijagokan, atau perbedaan terhadap kebijakan dan arah politik yang diputuskan, juga tidak kurang manuver sikap atau ramuan politik kepemimpinan yang menurut satu pihak telah keluar jalur dari khittah perjuangan politik. Sungguh realitas di atas ini sering berakhir dengan kata sengkuni politik atau klaim pengkhianatan atas pihak lain yang mengambil jalan berbeda dari pijakan mayoritas.
Sengkuni Politik
Perilaku cerdas tapi licik, tak pandai terima kasih, haus akan kekuasaan, penghianat dan menghalalkan segala cara sering dikaitkan dengan tipikal politik Sengkuni. Sosok Sengkuni representasi perilaku politik yang tak beretika dan tak bermartabat sebagaimana banyak dimainkan oleh para politisi saat ini.
Sengkuni merupakan salah satu tokoh perwayangan yang sangat popular di kalangan masyarakat. Dia adalah saudara kandung dari Permaisuri Gandari yang merupakan istri dari Destarata (Raja Negara Astina) dan ibu dari Duryudana. Sosoknya dikenal jahat, suka mengadu domba agar hasrat kekuasaannya terpenuhi.
Dikutip dari video CakNun.com (2019), budayawan Cak Nun menjelaskan bahwa Sengkuni pernah mengalami penderitaan yang sangat pelik. Ia pernah dipenjarakan bersama dengan kedua orangtua dan 100 saudaranya oleh Destarata suami dari Dewi Gandari yang merupakan kakak kandung Sengkuni. Selama masa hukuman, ia bersama orangtua dan saudaranya merasakan penderitaan yang sangat luar biasa. Dari masa lalu Sengkuni yang begitu pahit, kita bisa mendapatkan alasan kuat mengapa ia menjadi sosok yang kejam.
Sengkuni gaya baru menjadi cerita politik periode ini, dari masa ke masa selalu hadir dengan wajah berbeda tapi gaya yang sama (lagu lama kaset baru), politik sulit ditebak tapi perilaku politik terkadang mudah di tebak, gejala persengkokolan, gejala ambisi meraih jabatan dengan mudah ditafsirkan oleh para pemain politik ke mana arah akhir ceritanya.
Hal ini terjadi bagaimana posisi keluarga Jokowi hari ini. Sebagai tokoh utama dia menjadi besar dan berkuasa di republik ini merupakan andil besar sokongan politik PDIP, entah mulai dari mana “perlawanan” Jokowi kepada PDIP sampai pada titik kulminasi sehingga rela meninggalkan pelan-pelan partai yang telah membesarkannya.
Sikap demikian memunculkan Diksi penghianatan, sengkuni, hingga Machiavelli jawa pun disematkan kepada Jokowi karena dianggap melanggar fatsun politik sebagai kader partai. Langkah Jokowi dan keluarganya merupakan tindakan strategi Kuda troya dalam mengikis skema politik rumah besar PDIP
Modalitas Berujung Pengkhianatan
“The President Can Do No Wrong” presiden tidak bisa disalahkan, adagium ini mungkin cocok atas sikap yang dilakukan oleh Jokowi dengan memberikan restu kepada Gibran sebagai cawapres Prabowo dengan meninggalkan kapal yang pernah menghantarkan Jokowi ke dermaga kekuasaan.
Ada tiga alasan sikap. Pertama, Jokowi berkeinginan pasca dirinya berkuasa pembangunan dan kebijakan dapat dilanjutkan. Kedua, titik temu ambisi pribadi dan negara agar Jokowi selalu memorable dalam kepemimpinannya. Ketiga, Jokowi ingin husnul khotimah pasca kepemimpinannya tanpa ada gangguan yang menyentuh kepada dirinya. Tiga alasan tersebut dia butuh orang yang mengawal hasratnya. Tidak cukup dengan melimpahkan kekuasaan yang bukan keinginannya, dia butuh orang yang dipercaya mampu melanjutkan dan mengamankan ambisi egoisnya.
Berdasarkan approval rating (tingkat kepuasan) yang tinggi, Jokowi merasa percaya diri bahwa tanpa dukungan formil partai yang membesarkannya, insentif elektoralnya masih berpengaruh kepada capres-cawapres yang disokongnya. Signal ini menjadi penanda kuat melalui pendekatan relawan yang dihimpun Jokowi, kata kuncinya beliau ingin menampilkan kekuatan pembeda.
Wajar jika kemudian persekongkolan itu terjadi karena hasrat kekuasaan sebagai bagian dari penetrasi politiknya merubah mindset politik Jokowi. Dalam bathin dan pikiran Jokowi, Tak mau menggubris omongan dirinya sebagai penghianat karena dirinya memiliki modal kuat.
Meminjam teori Pierre Bourdieu tentang modal, Jokowi menguasai beberapa modal yang kuat untuk dirinya melakukan cawe-cawe dalam politik. modal berperan sebagai relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran. Bourdieu membedakan tiga bentuk modal yakni modal politik, ekonomi (capital) dan modal sosial.
Pertama modal politik berupa dukungan Partai Politik (koalisi partai) dan dukungan elit-elit politik dan organisasi kemasyarakatan untuk pemenangan. Kedua, Modal sosial yang merupakan mutual trust antara anggota masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma, dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong kepada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Ketiga, Modal kapital (ekonomi) memiliki makna penting sebagai “penggerak” dan “pelumas” mesin politik yang dipakai.
Jokowi dapat mengendalikan infra dan supra struktur ekonomi dengan melibatkan banyak pengusaha dalam circle kekuasaannya untuk membantu pembiayaan seluruh kebutuhan dalam politik. Di dalam ranah pertarungan politik selalu terjadi. Siapa saja yang memiliki modal dan habitus akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Artinya modal di sini menjadi instrumen penting dalam pelestarian kekuasaan politik.
Fenomena tersebut wajar jika Jokowi melakukan penetrasi ambisi politiknya, meminjam istilah Either you are with us, or against us (kalau kau tidak berdiri di pihakku, kau pasti musuhku, dan harus menjadi musuhku) sikap ini menjadi variable penguat dalam menggoalkan kandidat pilihannya tersebut. Dengan cara inilah Jokowi mempertontonkan kapasitasnya dalam melanggengkan kekuasaan.
Dari gambaran di atas kita bisa meng-capture peran Jokowi dalam mengkooptasi seluruh elemen, dengan modal yang cukup Jokowi sudah tidak berpikir soal istilah buruk yang dilekatkan pada dirinya sebagai pengkhianat ala sengkuni, tapi ini bagian momentum politik yang harus direbut. Wallahu a’lam bisshowab. (*)
Penulis : red
Editor : dwi teguh budiana