bantenraya.co | KAB.SERANG
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti kejadian longsor yang terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Serang, khususnya di lokasi bekas proyek geotermal. WALHI menilai bahwa aktivitas pembukaan lahan untuk eksplorasi geotermal turut berkontribusi terhadap bencana yang terjadi.
Direktur Eksekutif WALHI, Suci Fitria Tanjung, mengungkapkan bahwa pembukaan lahan dalam tahap eksplorasi geotermal dapat berdampak pada kondisi lingkungan sekitar. Ia menegaskan bahwa hilangnya vegetasi di suatu area akan mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan, yang berpotensi menyebabkan longsor.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hukum alam itu sederhana, jika air hujan tidak terserap dengan baik oleh tanah, maka longsor pasti terjadi. Ini bisa kita pahami tanpa perlu pembuktian ilmiah yang rumit,” ujarnya kepada media, Sabtu (15/3/2025) malam.
Suci menambahkan bahwa vegetasi yang masih terjaga dapat membantu tanah menampung air dengan lebih baik. Namun, jika hutan atau lahan mengalami kerusakan, daya tampung tanah terhadap air hujan berkurang sehingga meningkatkan risiko bencana.
Berdasarkan pemantauan WALHI, lokasi longsor yang berada di jalur bekas proyek geotermal menunjukkan adanya kaitan dengan aktivitas sebelumnya. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, WALHI menilai peristiwa tersebut sebagai peringatan dini akan potensi bahaya yang lebih besar jika eksplorasi terus dilakukan tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
“Ini momen untuk berpikir ulang. Kami berharap masyarakat yang masih berada di zona abu-abu bisa lebih membuka mata terhadap dampak yang mungkin terjadi,” tegasnya.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Serang menyatakan bahwa bekas galian proyek geotermal tidak memiliki keterkaitan dengan kejadian longsor yang terjadi di lima titik di Padarincang, termasuk titik terparah yang berada di bekas akses proyek tersebut.
Menanggapi pernyataan pemerintah daerah, Suci menilai bahwa pemerintah cenderung menghindari tanggung jawab dengan menyalahkan faktor cuaca.
“Ini bentuk lepas tangan. Pemerintah selalu menyalahkan hujan, padahal jika ekosistemnya baik, hujan seharusnya menjadi berkah, bukan bencana,” ujarnya.
Lebih lanjut, Suci menilai bahwa kerusakan lahan akibat aktivitas manusia menyebabkan tanah kehilangan daya tampung air hujan, sehingga meningkatkan risiko longsor. Ia pun mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan upaya pemulihan lingkungan di daerah terdampak.
“Kita harus meluruskan logika ini. Ini bukan salah hujan, tapi daya tampung air yang sudah berkurang. Solusinya bukan sekadar menyalahkan alam, melainkan melakukan pemulihan lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab,” paparnya.
Meskipun skala longsor kali ini tidak terlalu besar, WALHI menekankan bahwa kejadian ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat. Jika eksplorasi geotermal terus berlanjut tanpa memperhatikan dampak lingkungan, dikhawatirkan bencana yang lebih besar dapat terjadi di masa mendatang. (hed/Bn/ris)