bantenraya.co | KAB.SERANG
Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKBP3A) Kabupaten Serang mencatat adanya 117 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2024. Dari jumlah tersebut, 98 kasus melibatkan anak, sementara 28 kasus lainnya berkaitan dengan perempuan.
Kepala DKBP3A Kabupaten Serang, Encup Suplikah, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memberikan pendampingan bagi seluruh korban hingga proses hukum selesai. “Alhamdulillah, beberapa kasus telah selesai di persidangan, sementara sebagian lainnya masih dalam proses,” ujar Encup, Senin (30/12/2024).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Encup menambahkan bahwa pihaknya telah aktif melakukan sosialisasi dan penyuluhan di sektor pendidikan sebagai upaya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Pada November 2024, kami mengunjungi 19 SD, 19 SMP, MTs, dan pesantren untuk memberikan edukasi tentang parenting, bakti kepada orang tua, serta pentingnya peran keluarga dalam melindungi dan menyayangi anak-anak,” jelasnya.
Menurut Encup, pola asuh yang baik sangat penting untuk mencegah pengaruh buruk dari gadget. Ia menyoroti bahwa sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak berkaitan dengan penggunaan ponsel yang tidak terkontrol. “Handphone memuat banyak hal yang tidak pantas dan sulit diawasi. Karena itu, kami mendatangi sekolah-sekolah untuk memberikan penyuluhan langsung,” katanya.
Dalam menangani masalah ini, DKBP3A Kabupaten Serang juga menggandeng berbagai pihak, termasuk kecamatan, desa, dan kelompok masyarakat. “Kami telah membentuk satgas dan menunjuk Agen Perubahan untuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di setiap wilayah,” terang Encup.
Di tengah upaya tersebut, Encup menyampaikan bahwa angka kekerasan di Kabupaten Serang menurun pada 2024. Penurunan ini membuat Kabupaten Serang terpilih sebagai salah satu dari 11 daerah di Indonesia yang menjadi pilot project penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Kami dinilai mampu menangani kasus dengan cepat melalui kolaborasi antara dinas kesehatan, kepolisian, kejaksaan, hingga rumah sakit dan puskesmas,” paparnya.
Encup juga menyoroti faktor penyebab kekerasan, yang untuk perempuan sering kali dipicu oleh tekanan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan untuk anak, kasus yang dominan adalah perundungan (bullying) dan kekerasan seksual, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Sebagai imbauan, Encup mengajak masyarakat untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum membangun rumah tangga. “Tidak cukup hanya bermodal cinta. Seorang suami harus memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai. Dari 28 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebagian besar dipicu oleh masalah ekonomi,” tegasnya. (hed/BN/ris)